Mekanisme Pertahanan Ego : Displacement
PsikologiKETIKA KEMARAHAN SALAH ALAMAT
Oleh: Yusdi Lastutiyanto
Bayu masuk ke rumah dengan langkah berat. Hari ini kantornya seperti neraka. Bosnya membentaknya di depan rekan kerja hanya karena laporan yang dianggap kurang detail. Sakit hati? Jelas. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Melawan berarti mempertaruhkan pekerjaannya.
Saat tiba di rumah, anaknya, Rafi, berlari menghampirinya dengan wajah ceria, membawa mobil-mobilan kesayangannya.
“Ayah, lihat! Aku bikin garasi dari kardus!” seru Rafi antusias.
Tanpa melihat, Bayu merampas mobil itu dan meletakkannya kasar di atas meja. “Berantakan banget! Udah berapa kali Ayah bilang, jangan mainin barang sembarangan?” suaranya meninggi.
Rafi terdiam, matanya berkaca-kaca. Istrinya menoleh dari dapur, menatap Bayu dengan bingung.
Bayu menghela napas, tiba-tiba merasa lelah. Tapi dalam hati, ada kelegaan aneh, seakan beban emosinya berkurang. Dia tidak sadar, kemarahan yang harusnya ditujukan ke bosnya justru beralih ke anaknya yang tidak bersalah.
Apa yang terjadi pada Bayu?
Bayu tidak benar-benar marah pada Rafi. Kemarahannya sudah menggunung sejak siang, tapi dia tidak punya tempat aman untuk menyalurkannya. Konfrontasi langsung dengan bosnya bisa berisiko, jadi tanpa sadar, emosinya mencari jalan keluar dan sayangnya, jatuh pada orang yang lebih lemah, anaknya.
Inilah yang disebut displacement, salah satu mekanisme pertahanan ego yang bekerja tanpa kita sadari. Kita merasa lebih lega, tapi masalah aslinya tetap ada, bahkan bisa menambah masalah baru.
Berapa kali kita marah pada orang yang salah? Berapa kali kita meledak hanya karena hal kecil, padahal sebenarnya ada luka yang lebih dalam?
Penemuan Sigmund Freud
Sigmund Freud menjelaskan bahwa displacement adalah mekanisme pertahanan ego di mana emosi yang seharusnya diarahkan ke satu pihak justru dipindahkan ke pihak lain yang lebih aman atau lebih lemah.
Dalam konteks Bayu, kemarahan yang seharusnya ia rasakan terhadap bosnya tidak bisa diekspresikan secara langsung. Akhirnya, emosinya mengalir ke anaknya yang tidak berdaya untuk melawan.
Fenomena ini menekankan bahwa mekanisme pertahanan seperti ini bisa menjadi kebiasaan yang berbahaya. Jika terus dilakukan, seseorang tidak hanya merusak hubungannya dengan orang lain, tetapi juga semakin jauh dari solusi sebenarnya.
Lalu bagaimana cara mengatasinya?
-
Sadari Sumber Emosi Sebelum meluapkan amarah, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah ini benar-benar tentang hal yang sedang terjadi, atau ini adalah sisa dari masalah sebelumnya?”
-
Tunda Reaksi Jika merasa emosi memuncak, tarik napas dalam-dalam dan beri waktu beberapa detik sebelum merespons.
-
Lepaskan Jubah Profesi Jika memang ada keadaan di kantor yang membuat Anda tidak nyaman, sebelum sampai rumah lakukan suatu aktivitas yang melepaskan jubah Anda sebelumnya, misalnya belanja ke Indomaret atau lainnya.
-
Cari Saluran yang Sehat Olahraga, journaling, atau sekadar berjalan kaki bisa menjadi cara yang lebih baik untuk melepaskan energi negatif tanpa merugikan orang lain.
-
Komunikasikan Secara Asertif Jika ada masalah dengan atasan, coba cari cara untuk membicarakannya secara profesional, misalnya dengan menanyakan bagaimana bisa memperbaiki pekerjaan tanpa harus disalahkan di depan umum.
-
Bangun Kesadaran Diri Makin sering kita mengenali pola ini dalam diri sendiri, makin mudah bagi kita untuk mengubahnya sebelum merusak hubungan dengan orang-orang yang kita sayangi.
Pada akhirnya, kemarahan yang tidak disalurkan dengan baik hanya akan menjadi rantai reaksi yang menyakiti lebih banyak orang. Jangan biarkan emosi yang salah alamat menghancurkan hubungan yang sebenarnya ingin kita lindungi.
Semoga bermanfaat dan Terima Kasih
Jakarta, 28 February 2024
PS
- Tulisan ini adalah hak kekayaan intelektual, jika mau dishare ulang pastikan menyertakan nama penulisnya.